Senin, 06 Februari 2012

Sisi Lain Gunung Bawakaraeng

Gunung Bawakaraeng, gunung yang terletak di kawasan kampung Lembanna, Kabupaten Gowa Sulawesi Selatan. Dari Makassar berjarak 3 jam lewat jalur darat. Secara ekologis gunung ini memiliki posisi penting karena menjadi sumber penyimpan air untuk Kabupaten Gowa, Kota Makassar, Kabupaten Bantaeng, Kabupaten Bulukumba dan Kabupaten Sinjai. Bawakaraeng bagi masyarakat sekitar memiliki arti sendiri. Bawa artinya Mulut, Karaeng artinya tuhan. Jadi Gunung Bawakaraeng diartikan sebagai Gunung Mulut tuhan. Yang jelas, gunung Bawakaraeng bukanlah mulut tuhan dalam arti yang sebenarnya.

Bawakaraeng terdiri dari bukit - bukit yang berjejer megah. Bukit tertinggi memiliki tinggi sekira 2.700 meter di atas permukaan laut. Untuk mendakinya sampai ke puncak, kita harus menyusuri dua bukit dan 10 pos jalur pendakian. Pepohonan lebat beragam jenis, kabut tipis, sungai kecil, dan pelbagai keindahan alam lainnya akan menghiasi setiap jalur pendakian dari pos ke pos hingga ke puncak.

Pos 5

FENOMENA MISTIS

Pada 1980 - an, seorang pendaki wanita bernama Noni bunuh diri di pos 3 Bawakaraeng. Dia menggantung dirinya di sebuah pohon. Dugaan penyebabnya karena patah hati. Pohon itu masih berdiri hingga kini. Bentuknya angker, seangker kejadian di baliknya. Batangnya besar bercabang, daunnya habis tak tersisa. Bagi yang sudah mendaki Bawakaraeng, pasti kenal betul dengan pohon itu karena pohon itulah yang menjadi penanda pos 3.

Karena alasan mistis, para pendaki enggan mengabadikan pohon itu dalam bentuk foto maupun video. Bahkan mereka juga enggan singgah di pohon itu. Beberapa kesaksian menjelaskan bahwa kejadian aneh terjadi waktu mereka singgah di pohon itu: tiba - tiba hujan, angin kencang, dan lainnya, entahlah!

Beberapa pendaki juga mati di Bawakaraeng. Badai, suhu dingin, kelaparan, adalah sebagian dari penyebabnya. Pusara yang terpasang menjadi penanda sejarah mereka. Paling terakhir, matinya dua mahasiswa Geologi Universitas Hasanuddin, Awy dan Iccank, di Pos 5 karena badai.

Pos 7

LONGSOR

Pada 2004 silam, longsor terjadi di salah satu bukit Bawakaraeng. Bukit itu terlihat jika kita berjalan menurun dari pos 7 menuju pos 8, seperti gunungan ice cream yang sudah digigit. Akibat longsor, pos 8 lama yang berbentuk padang luas dengan ilalangnya harus berganti dengan pos 8 baru yang gersang, dekat telaga Bidadari yang kering kerontang, hanya menyisakan air yang cokelat dan kotor. Longsor itu juga menimbun kampung - kampung kecil di lereng Bawakaraeng, tanpa sisa. Lumpur bawahannya malah sempat membuat khawatir sebagian orang karena dianggap tekanannya akan merobohkan bendungan bili - bili, tapi syukurlah, hal tersebut tidak menjadi kenyataan.

Telaga Bidadari yang Kering

RITUAL DI BAWAKARAENG

Setiap hari raya Idul Adha, banyak warga dari berbagai daerah menuju ke puncak Bawakaraeng untuk melakukan salat Idul Adha dan ritual. Mereka datang sehari sebelum hari raya dan bermalam di puncak dengan bekal dan pakaian seadanya. Esok subuh, mereka pun memulai salat Idul Adha dan ritual. Mereka memberikan sesajian - sesajian untuk mencari berkah dan keselamatan: gula merah untuk mencari manisnya dunia, kelapa untuk mencari nikmatnya dunia, lilin untuk mencari terangnya dunia, dan sebagainya.

Banyak pendapat yang mengatakan bahwa warga ke puncak Bawakaraeng untuk melaksanakan ibadah haji, tapi pendapat tersebut dibantah oleh Tata Rasyid, penjaga dan penolong Bawakaraeng. Dia menegaskan, " Yang benar itu warga naik ke puncak untuk lebaran haji, bukan naik haji. Naik haji itu di Mekkah."

Triangulasi Puncak Bawakaraeng

Silahkan daki Bawakaraeng. Dari Makassar, naik mobil angkot warna merah jurusan Sungguminasa, bayar Rp 3.000. Turun di terminal Sungguminasa, naik angkot jurusan Malino, bayar Rp 25.000, dijamin diantar sampai ke kampung Lembanna. Di Lembanna, jalan kaki sampai ke puncak gunung.

" Berbagi waktu dengan alam, kau akan tahu siapa dirimu yang sebenarnya " ( Soe Hoek Gie )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar